SERANG, (KB).- Rektor Untirta Prof. Sholeh Hidayat mengatakan, dosen kehabisan waktu untuk mengajar, sehingga kurang produktif untuk menulis. Selain budaya menulis ilmiah masih rendah, juga tidak semua dosen mudah mencari dana penelitian. “Tidak produktifnya dosen dalam menulis dikarenakan menjelang pensiun. Sibuk dengan waktu untuk belajar, memikul tugas selain menjadi rektor. Salah satu untuk menjadi dosen, tidak hanya menghasilkan jurnal ilmiah tetapi juga mampu menerbitkan buku,” kata Sholeh kepada Kabar Banten, Senin (26/2/2018).
Menanggapi data Ristekdikti selama tiga tahun terakhir hingga 2017, ada 2.678 profesor yang tidak memenuhi syarat publikasi sesuai dengan Permenristekdikti Nomor 20/2017. Ia mengatakan, tidak semua perguruan tinggi punya program S3 yang berbasis riset, sehingga dosen atau profesor waktunya habis mengajar S1. Jika sudah terlalu banyak mengajar, sulit bagi dosen menulis paper ilmiah atau research paper.
“Padahal, menulis paper riset itu harus dipelihara menjadi rheumatic. Kendala yang lain pada dana riset yang tersedia relatif kecil dan tersedot ke perguruan tinggi yang sudah matang. Akhirnya, perguruan tinggi yang tertinggal akan terus tertinggal, sulit berkompetisi, sehingga kegiatan riset minim. Efeknya, dosen-dosen tidak punya materi untuk dijadikan paper,” ujarnya.
Untuk menulis jurnal terscopus umumnya di luar negeri, dengan menggunakan bahasa Inggris. Para dosen atau profesor tidak terbiasa menulis paper dalam bahasa Inggris yang mudah terbaca. “Terkendala bahasa dalam penulisan paper, kampus-kampus jarang yang punya lembaga khusus untuk penghalusan paper. Umumnya menyerahkan menulis paper ke individu dosen. Misalnya, unit Scientific English Writing yang bertugas membereskan bahasa paper, sebelum dikirim ke jurnal Internasional,” katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, beberapa kendala yang membuat dosen kurang produktif untuk menulis, di antaranya meliputi waktu dosen Indonesia habis untuk mengajar. Kultur menulis ilmiah masih rendah, tidak semua dosen mudah mencari dana penelitian, serta tidak ada sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak menjalankan tugasnya.
“Penyebabnya tidak banyak yang tersortir karena mereka tidak menghasilkan publikasi di jurnal bereputasi. Bahkan jurnalnya abal-abal juga ada untuk para dosen harus bisa mengidentifikasi jurnal-jurnal yang abal-abal. Misalnya tidak terbit secara rutin, tidak menggunakan bahasa internasional, cetakan yang tidak sesuai dan lain sebagainya,” tuturnya.
Ia mengimbau para dosen untuk tidak sembarangan memasukkan tulisan ilmiahnya ke dalam jurnal yang tidak punya reputasi. Dalam penulisan publikasi Internasional, seorang dosen atau profesor tidak harus menjadi penulis pertama, tetapi juga bisa berkolaborasi dengan dosen atau peneliti lain.”Selain itu, terkait jurnal tidak hanya bergantung pada Scopus, tetapi bisa menggunakan indeks lain, seperti Copernicus, Thomson, dan lain sebagainya,” katanya.
Peraturan ketat
Rektor Universitas Banten Jaya Sudaryono mengatakan, profesor tak penuhi syarat, karena untuk mendapatkan gelar profesor cukup S1. Sekarang, untuk mendapatkan gelar profesor harus S3 persyaratnya pun harus membuat karya ilmiah dan menerbitkan satu judul buku. “Peraturan pemerintah sekarang ini semakin ketat syarat yang harus terpenuhi membuat jurnal internasional, menulis karya ilmiah, menerbitkan satu buku. Kalau dulu gelar S1 bisa mendapat gelar profesor. Sekarang tentu harus S3,” ucapnya.
Menurut dia, jumlah profesor tak penuhi syarat itu sebetulnya adalah profesor yang telah lanjut usia umurnya. Kalau umurnya masih di bawah 50 tahun, tentu masih produktif untuk memenuhi syarat menjadi profesor. Seperti menulis karya ilmiah, menulis jurnal dan tentunya bisa menerbitkan satu buku. “Bahasa juga menjadi faktor karena untuk menulis jurnal internasional harus menggunakan bahasa Inggris. Sedangkan profesor yang sudah lanjut tentu akan kesulitan dalam bahasa,” katanya. (DE)***